Bagaimana Dunia Islam Menyikapi Proyek Kristenisasi Israel oleh AS?

Isu kristenisasi Israel yang disebut didorong Amerika Serikat membuka babak baru dalam perdebatan geopolitik dan identitas keagamaan di Timur Tengah. Video yang beredar menyoroti rencana Washington untuk mengubah populasi Yahudi sekuler di Israel menjadi Kristen, sekaligus menjadikan negara itu sebagai ujung tombak kristenisasi dunia Arab. Gagasan ini tidak hanya memantik kontroversi, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana seharusnya dunia Islam merespons.

Dalam video tersebut dijelaskan bahwa Israel bukanlah negara yang benar-benar dibangun atas dasar kepercayaan Yahudi, melainkan nasionalisme budaya. Hanya sekitar 20 persen masyarakat Yahudi Israel yang religius, sementara sisanya lebih banyak berpegang pada identitas budaya. Kondisi ini disebut sebagai peluang yang bisa dieksploitasi Amerika untuk mengubah wajah keagamaan Israel.

AS melihat adanya keuntungan strategis jika Israel menjadi Kristen. Dengan identitas baru itu, Israel bisa lebih mudah berintegrasi dengan dunia Barat, mengurangi ketegangan dengan tetangga Arab, dan tampil sebagai penjaga minoritas Kristen di kawasan. Ini jelas bukan sekadar wacana spiritual, melainkan proyek politik yang berpotensi mengubah keseimbangan regional.

Metode yang ditawarkan pun jauh dari kekerasan. Sebaliknya, pendidikan, budaya, dan aktivitas misionaris menjadi sarana utama. Amerika sendiri memiliki rekam jejak menggunakan pendekatan ini di Jepang pasca-Perang Dunia II maupun Korea Selatan. Artinya, strategi ini bukan hal baru, dan dunia Islam seharusnya membaca pola sejarah tersebut.

Di tengah narasi itu, organisasi seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Liga Muslim Dunia dituntut untuk tidak diam. Jika tren kristenisasi benar-benar dijalankan, maka dampaknya akan dirasakan tidak hanya oleh Palestina, tetapi juga dunia Arab dan negara-negara mayoritas Muslim. Perubahan identitas Israel menjadi Kristen bisa dijadikan legitimasi baru bagi Barat untuk memperkuat hegemoni mereka.

OKI, sebagai payung diplomasi dunia Islam, seharusnya segera mengkaji implikasi jangka panjang dari skenario ini. Melalui forum resmi, OKI dapat mengingatkan negara-negara anggotanya tentang bahaya rekayasa identitas agama yang dilakukan kekuatan besar. Lebih dari itu, OKI bisa mendorong lahirnya resolusi yang menegaskan pentingnya melindungi keanekaragaman agama di Timur Tengah tanpa ada intervensi eksternal.

Liga Muslim Dunia, dengan jaringan ulama dan lembaga dakwahnya, juga memiliki peran penting. Organisasi ini bisa merespons melalui jalur pendidikan, dakwah moderat, dan penguatan identitas Islam yang inklusif. Jika AS menggunakan jalur budaya dan pendidikan untuk mendorong kristenisasi, maka dunia Islam pun harus mengimbangi dengan pendekatan serupa yang membangun, bukan konfrontatif.

Selain itu, negara-negara Arab yang berbatasan langsung dengan Israel harus menyadari potensi dampak dari proyek ini. Jika benar Israel dijadikan “kerajaan tentara salib” modern, maka kawasan akan memasuki fase baru rivalitas identitas yang jauh lebih kompleks. Di sinilah peran diplomasi kolektif OKI sangat dibutuhkan untuk mencegah konflik meluas.

Kecenderungan dunia Barat menggunakan agama sebagai instrumen geopolitik seharusnya menjadi pelajaran berharga. Dunia Islam perlu menyikapinya dengan menguatkan solidaritas internal, memperkuat lembaga pendidikan Islam modern, serta meningkatkan kerja sama lintas negara untuk menghadirkan alternatif narasi yang menyejukkan.

Jika tidak, proyek kristenisasi Israel bisa dianggap sebagai kelanjutan dari kolonialisme budaya. Narasi bahwa Islam lebih lunak terhadap Kristen ketimbang Yahudi bisa dieksploitasi untuk menggeser dinamika politik Timur Tengah. Respon yang lambat hanya akan membuat dunia Islam semakin kehilangan kendali terhadap arah perkembangan kawasan.

Dalam konteks global, dunia Islam juga bisa menggandeng organisasi internasional lain seperti PBB atau Dewan HAM untuk menegaskan prinsip kebebasan beragama tanpa intervensi politik. Dengan demikian, isu ini tidak hanya diposisikan sebagai perdebatan agama, tetapi juga sebagai persoalan hak asasi dan kedaulatan bangsa.

Langkah lain yang bisa ditempuh adalah memperkuat komunitas Muslim di negara-negara Barat. Mereka dapat menjadi jembatan untuk menyuarakan kekhawatiran terhadap politik kristenisasi yang sarat kepentingan. Jika dunia Islam mampu berbicara dalam bahasa universal tentang kebebasan beragama, maka legitimasi moral Amerika dalam proyek ini akan melemah.

Video tersebut juga menyebut reputasi Israel yang kian merosot di Barat. Bagi dunia Islam, ini justru kesempatan untuk menekan melalui jalur diplomasi dan opini publik global, bukan sekadar menunggu arah yang ditentukan Washington.

Di saat yang sama, dunia Islam harus mampu menunjukkan bahwa Islam adalah rahmatan lilalamin. Dengan cara itu, islamophobia bisa dipatahkan, sekaligus menjadi penangkal terhadap upaya rekayasa identitas yang didorong kekuatan asing.

Tentu, tidak bisa dipungkiri bahwa isu kristenisasi ini akan mengundang banyak perdebatan internal. Namun, respon OKI dan Liga Muslim Dunia sebaiknya tidak terjebak dalam retorika emosional, melainkan menghadirkan strategi yang cerdas, diplomatis, dan berorientasi jangka panjang.

Jika gagal membaca arah ini, dunia Islam berpotensi menghadapi realitas baru di mana Israel tidak hanya menjadi musuh politik, tetapi juga simbol kemenangan peradaban Barat yang berbasis agama Kristen. Hal itu akan semakin mempersempit ruang tawar dunia Islam dalam percaturan global.

Sebaliknya, jika ditanggapi dengan tepat, dunia Islam bisa menggunakan momentum ini untuk memperkuat persatuan internal, membangun jejaring diplomasi, dan mengedepankan Islam sebagai agama yang inklusif. Dengan begitu, kristenisasi Israel tidak akan menjadi ancaman eksistensial, melainkan titik balik untuk memperkokoh posisi umat Muslim di dunia.

Pada akhirnya, bagaimana dunia Islam merespons isu kristenisasi Israel akan menjadi ujian besar bagi solidaritas dan visi jangka panjangnya. Apakah hanya berhenti pada kecaman retoris, atau mampu melahirkan strategi komprehensif yang membela kepentingan umat di panggung global.

Yang jelas, proyek ini memperlihatkan bahwa agama tetap menjadi alat politik dalam strategi kekuatan besar. Dunia Islam harus siap menjawab tantangan itu, bukan dengan reaksi sporadis, melainkan dengan pendekatan terencana yang mengedepankan persatuan, diplomasi, dan penguatan identitas spiritual.

Post a Comment

Distributed by Gooyaabi Templates | Designed by OddThemes