Mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama kembali menjadi sorotan setelah menyuarakan pandangannya terkait konflik Israel dan Hamas yang terus memanas. Dalam wawancara terbaru bersama Pod Save America, Obama menekankan pentingnya refleksi mendalam dari semua pihak atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza. Ia menyebut bahwa dalam konflik yang begitu kompleks ini, “tidak ada tangan yang bersih” dan menyiratkan bahwa semua pihak turut andil dalam krisis tersebut.
Obama secara terbuka mempertanyakan kembali masa kepemimpinannya, dengan menyampaikan sebuah perenungan, “Apakah ada hal lain yang seharusnya saya lakukan?” Ia mengajak publik untuk menelaah akar persoalan secara utuh, bukan sekadar menyalahkan satu pihak. Pernyataannya seolah menggarisbawahi kegagalan komunitas internasional, termasuk Amerika Serikat, dalam mencegah eskalasi konflik yang telah merenggut ribuan nyawa warga sipil.
Seruan Obama datang di tengah kritik keras dari komunitas Muslim Amerika terhadap kebijakan luar negeri AS yang dinilai terlalu memanjakan Israel. Beberapa tokoh Muslim terkemuka, seperti Osama Abuirshaid dari American Muslims for Palestine, menyebut bahwa Israel tidak mungkin menjalankan operasi militernya tanpa restu dan dukungan penuh dari Washington.
Nihad Awad dari Council on American-Islamic Relations (CAIR) bahkan menyebut bahwa Kongres AS tidak lagi objektif karena terikat pada kepentingan lobi pro-Israel. Ia mengatakan bahwa jika ingin membebaskan Gaza, maka terlebih dahulu perlu membebaskan Kongres dari dominasi pengaruh kelompok pelobi. Kritik ini menggambarkan frustrasi yang mendalam di kalangan aktivis dan pemimpin Muslim terhadap kebijakan luar negeri AS yang cenderung berat sebelah.
Mahdi Bray dari American Muslim Alliance menambahkan bahwa perdamaian tidak akan tercapai selama Israel masih menduduki wilayah Palestina. Ia menyoroti bahwa dukungan penuh Amerika Serikat justru menjadi bahan bakar utama agresi militer Israel, membuat setiap seruan perdamaian kehilangan maknanya di mata warga Palestina.
Sementara itu, Gedung Putih dan Departemen Luar Negeri tetap menunjukkan sikap keras terhadap upaya pembatasan terhadap tindakan Israel. Salah satu insiden paling mengundang kritik terjadi ketika mikrofon TV menangkap pernyataan Menlu John Kerry yang menyebut serangan Israel sebagai “hell of a pinpoint operation”, memperlihatkan adanya kontradiksi dalam sikap pemerintahan saat itu.
Di tengah meningkatnya kemarahan internasional, muncul langkah kontroversial dari pemerintahan Trump yang kembali menjabat, yaitu menjatuhkan sanksi terhadap Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Alasan yang dikemukakan adalah bahwa ICC telah mengambil langkah-langkah yang dinilai “ilegal dan tidak berdasar” karena mengusut dugaan kejahatan perang oleh militer AS dan Israel.
Presiden Trump menandatangani perintah eksekutif pada Februari lalu yang menjatuhkan sanksi terhadap Jaksa ICC Karim Khan, diikuti oleh sanksi terhadap empat hakim ICC yang dianggap bertanggung jawab dalam mengizinkan penyelidikan terhadap Afghanistan serta penerbitan surat penangkapan terhadap PM Netanyahu dan Menhan Gallant.
Langkah sanksi ini mendapat kecaman dari kelompok HAM dan pakar hukum internasional, yang menilai bahwa tindakan tersebut adalah bentuk pembungkaman terhadap upaya menegakkan keadilan global. Sanksi terhadap lembaga peradilan independen seperti ICC dinilai sebagai serangan terhadap prinsip keadilan universal yang menjadi landasan hukum internasional.
Dalam konteks ini, refleksi Obama terasa semakin relevan. Ia tidak hanya menyoroti kegagalan militer atau diplomasi, tetapi juga menyerukan kejujuran dalam melihat kenyataan bahwa kepentingan politik dan kekuasaan sering kali menutup mata terhadap penderitaan warga sipil. “Kalau kita ingin menyelesaikan masalah ini, kita harus menerima seluruh kebenaran,” ujarnya.
Pernyataan ini seolah menjadi tamparan bagi elite politik AS yang selama ini memberikan dukungan tanpa syarat kepada Israel. Dukungan tersebut kini semakin dipertanyakan publik, terutama setelah meningkatnya jumlah korban sipil di Gaza yang telah menembus angka seribu jiwa.
Para demonstran di berbagai penjuru dunia, terutama dari komunitas Muslim, telah menggelar aksi solidaritas menuntut dihentikannya kekerasan dan mendorong tekanan internasional terhadap Israel. Namun, di balik itu semua, mereka juga menyerukan perubahan sikap pemerintah-pemerintah besar, termasuk Amerika Serikat, yang selama ini bersikap ambigu terhadap pelanggaran HAM di Palestina.
Obama, meski tidak lagi menjabat, tetap memiliki pengaruh besar dalam wacana publik Amerika. Kata-katanya kini menjadi bahan diskusi luas, terutama di kalangan anak muda dan kelompok progresif yang mulai lelah dengan pendekatan luar negeri AS yang dianggap hipokrit dan transaksional.
Ketika mantan presiden sendiri mengakui keterlibatan Amerika dalam penderitaan rakyat Palestina, hal itu menjadi sinyal kuat akan pentingnya perubahan kebijakan yang lebih manusiawi dan berimbang. Obama menunjukkan bahwa akuntabilitas moral tidak berhenti setelah masa jabatan berakhir.
Krisis Gaza bukan lagi sekadar konflik regional, melainkan cermin kegagalan kolektif dunia dalam menegakkan keadilan dan kemanusiaan. Dan selama masih ada pihak yang menghindari kebenaran demi kenyamanan politik, seperti kata Obama, perdamaian tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Kini, pertanyaan terbesar yang muncul bukan hanya soal siapa yang bersalah, tetapi siapa yang berani jujur untuk berubah. Obama, dengan segala keterbatasannya, telah menunjukkan langkah awal menuju refleksi tersebut. Namun, apakah para pemimpin dunia lainnya berani menyusul?
Post a Comment